Friday, June 19, 2020

Makalah Tentang Halal dan Haram Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang akan tetapi banyak manusia yang hidupnya  penuh dengan kegelisahan, ketakutan, kecemasan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak diinginkan. Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam).” (HR. Al-Baghawi). Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui perkara-perkara yang halal-haram, serta syubhat perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya perbuatan, makanan, obat, dan kosmetik.
Makanan mempunyai pengaruh yang besar pada diri seseorang. Bukan saja pada badannya, tetapi pada perilaku dan akhlaknya. Bagi seorang muslim, makanan bukan saja sekedar pengisi perut dan penyehat badan, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi sebagaimana yang dikenal dengan nama “Empat sehat lima sempurna”, tetapi selain itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya.
Allah menegaskan bahwa Dia Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, termasuk makanan. Dan Allah memerintahkan kepada orang mukmin sebagaimana Dia memerintahkan kepada para Rasul untuk memakan makanan yang baik, sebagaimana firman-Nya: "Wahai para rasul, makanlah yang baik dan lakukanlah perbuatan yang baik. Dan tinggalkanlah sesuatu yang haram karena dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lembah kemaksiatan. Penjelasan tentang halal, haram, thayyib dan syubhat akan dibahas sebagai berikut.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud halal, haram dan thayyib?
2.      Apa saja halal dan haram dalam perbuatan?
3.      Apa saja halal dan haram dalam makanan?
4.      Apa yang dimaksud syubhat beserta contohnya?
5.      Bagaimana pengaruh perbuatan dan makanan haram dalam kehidupan?

1.3. Tujuan Penulisan
    Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mahasiswa mampu membedakan perkara yang halal, haram dan thayyib.
2.      Mahasiswa mampu meneliti makanan, minuman, dan binatang yang diharamkan oleh Islam, baik dari segi Zat nya, bentuknya, dan sifatnya.
3.      Mahasiswa mampu mengambil suatu kesimpulan hukum, tentang perkara itu, halalkah, haramkah, atau bahkan syubhat.
4.      Mahasiswa mengetahui pengaruh pengaruh perbuatan dan makanan haram dalam kehidupan


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Halal , Haram dan Thayyib
a.    Halal
Kata ‘halalan’ berasal dari lafadz ‘halla’ yang artinya ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Yusuf Qardhawi (2000) mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi. Dari Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dan lain-lain).

ا أيها الذين ءامنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم

“ Hai orang-orang yang beriman makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu.” [QS.Al Baqarah : 172].

Halal ada dua,yaitu halal zatnya dan halal cara memperolehnya. Berikut ini penjelasan tentang keduanya.

1)      Halal zatnya

Halal zatnya berarti makanan dan minuman tersebut memang berasal dari yang halal. Seperti daging sapi, Ayam, Sayur dan lainnya

2)      Halal cara memperolehnya

Halal secara memperolehnya berarti makanan/minuan yang dikonsumsi diperoleh dengan cara yang sah dan dibenarkan menurut syarak, seperti yang diperoleh melalui berdagang, bertani, saling memberi sesama, dan lain sebagainya.

Di Indonesia sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia. Majlis Ulama Indonesia memiliki Lembaga pengawasan Obat dan Makanan (LPOM). Tugas dari LPOM adalah mengkaji dan mengawasi makanan dan minuman yang beredar di ndonesia, apakah telah memenuhi syarat atau tidak. Seminggu Umat Islam akan mendapat ketenangan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman.
b.   Haram
Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras. Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa.
Selanjutnya, masih menurut Qardhawi, Haram dibagi ke dalam dua kategori, yaitu haram lid-dzati atau haram karena zatnya seperti : darah, bangkai, dan babi. Dan haram li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara memprosesnya, seperti: disembelih bukan untuk kepentingan ibadah/ Allah,  hewan yang mati karena tercekik, ditanduk, jatuh, dipukul, diterkam binatang buas. 
Menurut Q.S. Al-Maidah ayat 3, proses kematian hewan yang menyebabkan hewan itu menjadi haram dimakan antara lain karena dicekik, dipukul, ditanduk binatang lain atau akibat kematian  lain yang tidak sesuai dengan hukum. Terkecuali hewan laut atau yang hidup di air seperti ikan bangkainya tetap halal dimakan. Rusaknya Kehalalan Salah satu prinsip dalam Islam, apabila Allah swt. telah mengharamkan sesuatu, maka semua masakan atau produk yang dibuat dari bahan dasar yang diharamkan akan menjadi makanan yang haram pula.
Islam mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram pun diperkeras dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik dengan terang-terangan mahupun dengan sembunyi-sembunyi. Justeru itu setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram; dan apa yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram juga; dan setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya.
Akan tetapi Islam pun tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam kemudian menghargai kepentingan manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia. Justeru itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekadar menjaga diri dari kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu-persatu makanan yang diharamkan, seperti: bangkai, darah dan babi:
Barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melampaui batas, maka tiada berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah: 173). Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surah ketika menyebut masalah makanan-makanan yang haram. Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu: “Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang.”
Tetapi ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan kata-kata ghaira baghin wala ‘aadin (tidak sengaja dan tidak melampaui batas). Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak sengaja untuk mencari kelazatan. Dan perkataan tidak melampaui batas itu maksudnya: tidak melampaui batas ketentuan hukum.
Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu: adh-daruratu tuqaddaru biqadriha (darurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan darurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan darurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau mempermudah darurat.
c.    Thayyib
Kata thayyib  menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak), dan halal (halal).
Menurut al-Isfahani, pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud dengan thayyib adalah yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Menurutnya, lawan dari kata thayyib ini adalah khabits(bentuk jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang. Dalam al-Qur’an, kata thayyib ini disebutkan beberapa kali dalam bentuk yang berbeda. Terkait dengan makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan dalam bentuk mufrad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat kali untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 88, Surah al-Anfal: 69, dan Surah an-Nahl: 114.
Sedangkan yang tidak ada kaitannya dengan makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyibah dalam bentuk mufrad muannats (perempuan tunggal) pada sembilan tempat, yaitu pada Surah Aal Imran: 38, Surah at-Taubah: 72, Surah Yunus: 22, Surah Ibrahim: 24 (dalam ayat ini disebut dua kali), Surah an-Nahl: 97, Surah an-Nur: 61, Surah Saba: 15, dan Surah ash-Shaff: 12. Dan sebanyak dua kali dalam bentuk mufrad mudzakkar yaitu pada Surah an-Nisa: 43 dan Surah al-Maidah: 6. Di samping itu, dalam bentuk jamaknya (thayyibat), kata ini disebutkan sebanyak sepuluh kali dengan merujuk pada empat pengertian yaitu; sifat makanan, sifat usaha atau rezeki, sifat perhiasan dan sifat perempuan. Seperti yang terdapat pada Surah al-Maidah: 4-5, Surah al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 26, Surah Yunus: 93, Surah an-Nahl: 72, Surah al-Isra: 70, Surah al-Mu’minun: 51, Surah Ghafir: 64 dan Surah al-Jatsiyah: 16.

2.2. Halal Dan Haram dalam Perbuatan
Salah satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram, karena itu, saat islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan perhiasan, berdua-duaan (free love), bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.
Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah, apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram. Kaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah S.A.W. melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan seterusnya.
Begitu juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya. Begitulah, maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.
2.1. HALAL DAN HARAM DALAM MAKANAN
a.      Makanan yang halal
Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya. Berikut beberapa firman Allah SWT  dan hadist Rasulullah SAW mengenai halal dan haram :
·      “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 17)
·      “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168).
·      “Menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)
·      Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu’min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Ta’ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian…”. (HR. Muslim)
·      Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :
1)   Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan.
2)   Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3)   Semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah.
4)   Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.
b.      Makanan yang haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.
Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah :
1)      Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 145 :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah : 3)
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am : 145)
Catatan:
semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Semua darah haram kecuali hati dan limpa.
2)   Semua makanan yang keji, yaitu yang kotor, menjijikan.
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)
3)   Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah.
Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf : 33).
4)   Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup.
Sabda Nabi SAW : “Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai”. (HR. Ahmad)
5)   Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.
c.       Minuman yang halal
Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian :
1)        Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah.
2)        Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.
3)        Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis.
4)        Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

d.      Minuman yang haram
1)      Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya.
      Allah berfirman : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah : 219).
Dalam ayat lain Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90).
Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Turmudzi).
2)   Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.
3)   Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halan atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.

2.2. Pengertian Syubhat dan Contohnya
a.    Pengertian
Di dalam KBBI didefinisikan sebagai "keragu-raguan atau kekurang jelasan tentang sesuatu (apakah halal atau haram dsb); karena kurang jelas status hukumnya; tidak terang (jelas) antara halal dan haram atau antara benar dan salah. Kata kerja bersyubhat berarti "menaruh keragu-raguan.
Menurut syar’i , Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Status hukumnya dapat diketahui baik berdasarkan nash ataupun berdasarkan ijtihad yang dilakukan ulama dengan metode qiyas, istishab, dan sebagainya.
Syubhat berbeda dengan perkara yang sudah jelas pengharamannya, atau dengan halal, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat muncul karena ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Kondisi tersebut akan terus meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya penjelasan dari ulama. Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum syariat, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas. Seseorang yang masih ragu-ragu terhadap hukum suatu perkara, dan belum jelas mana yang benar baginya, maka perkara itu dianggap syubhat baginya, dia harus menjauhi perkara tersebut hingga jelas baginya status kehalalannya. Sedangkan bagi orang yang tahu (paham/berilmu), status perkaranya sudah jelas, walau kadang terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ahlul ilmi (ulama), utamanya di antara mazhab-mazhab fiqih.
b.   Landasan hukum
Hukum syubhat didasarkan pada hadist Rasulullah Saw,
حدّثناَ قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ أَنْبَأَناَ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عن مُجَالِدٍ عن الشَّعْبِي عن النُعْماَنِ بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُولُ الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَ الْحَراَمُ بَيِّنٌ وَ بَيْنَهُماَ أُمُورٌ مُشْتَبهَاتٌ لاَ يَدْرِي كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ أَ مِنَ الْحَلاَلِ هِيَ أَم مِنَ الْحَرَامِ فَمَنْ تَركَهاَ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ فَقدْ سَلِمَ وَ مَن وَقَعَ شَيئاً مِنهاَ يُوشِكُ اَنْ يُوَاقِعَ الْحَرَامَ كَماَ أَنَّهُ يَرْعَى حَولَ الْحِمَى يُوشِكُ اَنْ يُواقِعُهُ أَلآ وَ إِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلآ وَ إِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ (رواه الترمذي)
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kita, Hammad bin Zaid mengabarkan kepada kita dari Mujalid dari Sya’bi dari Nu’man bin Basyir berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Halal itu jelas dan haram itu jelas pula, dan diantara keduanya ada perkara-perkara syubhat (yang samar-samar), banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang meninggal-kannya, maka ia telah membersihkan dirinya untuk agamanya dan kehormatannya, maka selamatlah dia dan barangsiapa jatuh kepada hal syubhat, maka ia seakan-akan jatuh kepada yang haram. Umpama seorang yang menggembala dekat daerah yang terlarang, seakan ia nyaris jatuh (memasuki) daerah itu. Ketahuilah bahwa setiap negara ada tapal batasnya, dan tapal batas Allah adalah yang diharamkannya. (HR. at-Turmudzi).
Terhadap persoalan syubhat, Islam memberikan suatu garis yang disebut wara’ (sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana dengan sifat ini seorang muslim diharuskan menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat sehingga ia tidak akan terseret kepada perbuatan yang haram. Pengertian wara’ menurut Imam Muhammad bin Ismail adalah: Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya karena takut terjatuh pada perkara yang haram.
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi Rasulullah Saw memerintahkan kepada umatnya agar menjauhi dan meninggalkan perkara syubhat:
حدّثناَ أبُو مُوسَى الأنْصَارِي أَخْبَرناَ عبدُ اللهِ بنُ أدْرِيْسَ أَخْبَرناَ شُعْبَةَ عن بُرَيْدَ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عن أبِي الْحَورَاءَ السَّعدِي قال قُلْتُ للحَسَنِ بن عَلِيّ ماَ حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم دَعْ ماَ يُرِيْبُكَ إِلَى ماَ لاَ يُرِيْبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَ إِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ (رواه الترمذي)
Abu Musa al-Anshari merceritakan kepada kita, Abdullah bin Idris mengabarkan kepada kita, Syu’bah mengabarkan kepada kita dari Buraid bin Abi Maryam dari Abi al-Haura as-Sa’diy berkata: saya berkata kepada Hasan bib Ali: Apa yang engkau hafal dari Rasulullah? Hasan berkata (menjawab): yang saya hafal dari Rasulullah Saw: Tinggalkan perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan. (HR. at-Turmudzi)[8]
Dalil di atas merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Dalam hadist ini Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk meninggalkan perkara yang meragukan dan memerintahkan kepada umatnya untuk mengambil perkara yang meyakinkan. Maka apabila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah dalam hadist di atas, maka ia telah menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Sebagaimana sabdanya: “Siapa menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya”. Dan perbuatan ini akan mengantarkannya kepada sikap wara’.
Maka sesuatu yang masih diragukan kehalalan atau keharamannya harus dibuktikan kebenaran akan halal atau haramnyasehingga seseorang menjadi jelas dan yakin untuk melakukannya apabila termasuk barang halal dan meninggalkan apabila itu telah jelas keharamannya. Sesuai dengan kaidah fiqih: لْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِتلشَّكِّ Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Menurut Ahmad Batahi al-Khatabi, hukum meninggalkan syubhat ada tiga, yaitu: wajib, sunah dan makruh. Jika yang syubhat itu diyakini membawa pada yang haram, maka meninggalkannya adalah wajib. Jika yang syubhat itu lebih berat kepada yang haram, maka meninggalkannya adalah sunah. Jika lebih berat kepada yang halal, maka meninggalkannya adalah makruh.
c.    Sumber-sumber perkara syubhat
Keraguan (syak) itu adalah suatu ungkapan untuk dua keyakinan yang saling bertentangan yang bersumber dari dua sebab. Oleh karena itu, mana yang tidah mempunyai sebab atau bukti tidak dapat menjadi ketetapan yang mengimbangi keyakinan yang berlawanan sehingga kemudian menjadi syak (ragu). Batasan syubhat (haddusy-syubhat) menurut Ibnu Qudamah adalah:
Batasan syubhat adalah sesuatu yang dipertentangkan dua keyakinan, berasal dari dua hal yang memang selaras dengan keyakinan itu.
Perkara syubhat dapat ditetapkan melalui beberapa sumber. Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya ’Ulumuddin, menjelaskan sumber syubhat itu antara lain:
1)      Keraguan dalam sebab yang menghalalkan dan yang mengharamkan
Keraguan tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu setara atau kecenderungan pada salah satu dari dua kemungkinan. Jika kedua kemungkinan itu setara/sama, maka hukumnya adalah berdasarkan yang dikenal sebelumnya. Jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat maka hukumnya adalah bagi yang lebih kuat. Contoh: Dilemparkan anak panah pada buruan. Buruan itu terluka lalu terjatuh ke air dan ditemukan telah menjadi bangkai. Tidak ada yang tahu apakah buruan itu mati karena tenggelam atau karena lukanya. Maka buruan ini adalah haram karena asalnya yang haram.
2)      Keraguan yang ditimbulkan oleh percampuran (شك منشوؤه الإختلاط)
Yaitu bercampurnya yang haram dan yang halal sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara keduanya sehingga muncul keraguan apakah sesuatu itu halal atau haram. Contoh: Dagingbangkai seekor kambing bercampur dengan daging beberapa ekor kambing yang disembelih secara halal. Maka keraguan dalam hal ini harus dijauhi karena tidak ada tanda pada daging dari bangkai yang bercampur. Apabila ada keraguan yang beralasan bahwa daging bangkai kambing itu telah bercampur maka hal tersebut haram.
3)      Keraguan karena adanya hubungan kemaksiatan dengan sebab yang menghalalkan (ان يتصل بالسبب المحلل معصية)
Hubungan itu dapat terlihat pada sesuatu itu sendiri, pada tujuannya, pada permulaannya atau pada persoalan jual beli. Namun, maksiat ini bukan sejenis maksiat yang merusak aqad (ikatan perjanjian) atau membatalkan sebab yang menghalalkan sesuatu. Contoh: menyembelih dengan pisau rampokan, menjual buah anggur kepada seorang pembuat khamer.
4)      Keraguan karena perbedaan dalam berbagai dalil (اختلاف في الأدلة)
Perbedaan di dalam berbagai dalilnya ini seperti perbedaan di dalam sebab-sebabnya. Karena sebab menentukan hukum halal dan haram sedangkan dalil untuk mengetahui hukum halal dan haram. Lebih jelas lagi bahwa dalil merupakan sebab untuk bisa sampai pada pengertian yang nyata pada suatu barang.
Misalnya sabda Nabi Saw: “Orang mukmin menyembelih atas nama Allah Ta’ala, baik ia menyebut nama Allah atau tidak”. Hadist ini bertentangan dengan sebuah ayat al-Quran yang jelas dan beberapa hadist yang mengatakan bahwa mengucapkan nama Allah pada saat menyembelih adalah wajib. Dengan demikian hadist terdahulu harus ditinggalkan. Wallahu ’alam bissawab.

2.5. Pengaruh Perbuatan dan Makanan Haram dalam Kehidupan
Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya, di antara hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi’ar-syi’ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh kerana itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma’qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.
Tidaklah kamu mengetahui, bahawa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang memahami sebab diharamkannya daging babi itu, selain kerana kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahawa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.
Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahawa diharamkannya daging babi itu justeru kerana najis (rijsun).
Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum.
a.    Manfaat Makanan dan Minuman Halal
Keberadaan manusia di dunia ini dikehendaki oleh Allah SWT sebagai penciptanya. Allah SWT telah memberlakukan aturan aturan bagi Makhluk-Nya, termasuk manusia. Salah satu aturan-Nya ialah manusia dapat bertahan hidup karena makan, minum dan bernafas. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa manfaat dihalalkannya makanan/minuman antara lain seperti berikut:
1)      Manusia dapat bertahan hidup di dunia sampai batas yang ditentukan Allah SWT.
2)      Manusia dapat mencapai ridho Allah SWT dalam hidup.
3)      Manusia dapat memiliki akhlaq karimah karena makanan dan minuman halal mempengaruhi watak dan perangai manusia.
4)       Manusia dapat terhindar dari akhlaq mazmumah
b.   Akibat Buruk dari Perbuatan, Makanan dan Minuman yang Haram
Apabila manusia melakukan perbuatan hram, memakan makanan dan meminum minuman yang haram maka akan menimbulkan akibat buruk baik manusia itu sendiri baik terhadap pribadinya maupun terhadap orang lain atau masyarakat bahwa terhadap lingkungannya. Diantara akibat buruk dari perbuatan, makanan dan miuman yang haram adalah:
1)      Amal ibadahya tidak akan diterima dan doanya tidak akan dikabulkan Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Dari Abu Hurairah R.a. ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Saw adalah Dzat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin sesuai dengan yang diperintahkan kepada para Rasul”. AllahTa’ala berfirman: “Hai Para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepada kamu sekalian…”(HR. Muslim)
2)      Makanan dan minuman haram bisa merusak jiwa (terutama minuman keras yang mengandung alkohol), seperti:
·         Kecerdasan menurun
·         Cenderung lupa dan melakukan hal-hal yang negatifSenang menyendiri dan melamun
·         Semangat kerja berkurangn
3)      Makan dan minuman yang haram dapat membahayakan kesehatan
4)      Makanan dan minuman yang haram memubajirkan harta
5)      Menimbulkan permusuhan dan kebencian
6)      Menghalangi mengingat Allah
7)      Menimbulkan kerakusan dan ketamakan
8)      Mendapat azab dari Allah SWT
 Allah berfirman yang Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu(dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah[5] : 91).



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi. Haram adalah segala sesuatu yang tidak boleh dikerjakan, tidak dibenarkan syariat, dan dilarang secara keras. Orang yang melakukan tindakan haram atau makan sesuatu yang haram ini akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa. Sedangkan kata thayyib  menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang benar-benar baik.
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala. Salah satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram, karena itu, saat islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga
Apabila manusia melakukan perbuatan haram, memakan makanan dan meminum minuman yang haram maka akan menimbulkan akibat buruk baik manusia itu sendiri baik terhadap pribadinya maupun terhadap orang lain atau masyarakat bahwa terhadap lingkungannya.
Mengharamkan yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya, di antara hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi’ar-syi’ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.



DAFTAR PUSTAKA
An nawawi bin syarafudin, hadits arba’in.1997 : darul fikr, Riyadh.
Al-‘Utsaimin, Syaih Muhammad bin Shahih. 2010. Syarah Hadits Arba’in. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Berita Islami. 2015.”Halal dan Haram dalam Islam”. http://berita-islami-masa-kini. blogspot.co.id/2014/06/halal-dan-haram-dalam-islam.html. Diakses pada tanggal 23 November 2016.
Qaradhawi, Yusuf. 2000. Halal dan Haram. Surabaya: Robbani Press
Zulfikar.2014. “Pengertian Halal dan Haram. http://firdauzzuel.blogspot.co.id/ 2012/05/ pengertian-halal-dan-haram.html. Diakses pada tanggal 24 November 2016.

Blogueni
Blogueni

This is a short biography of the post author. Maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec vitae sapien ut libero venenatis faucibus nullam quis ante maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec.