BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Ketenangan
hidup di dunia adalah dambaan setiap orang akan tetapi banyak manusia yang
hidupnya penuh dengan kegelisahan,
ketakutan, kecemasan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya
yang tidak diinginkan. Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim wajib
mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya
pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak sempurna iman salah seorang dari
kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam).” (HR.
Al-Baghawi). Maka
dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui
perkara-perkara yang halal-haram, serta syubhat
perbuatan yang dilakukannya, dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi
kebutuhannya. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya perbuatan, makanan, obat,
dan kosmetik.
Makanan mempunyai pengaruh yang besar pada diri
seseorang. Bukan saja pada badannya, tetapi pada perilaku dan akhlaknya. Bagi
seorang muslim, makanan bukan saja sekedar pengisi perut dan penyehat badan,
sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi sebagaimana yang dikenal dengan nama
“Empat sehat lima sempurna”, tetapi selain itu juga harus halal. Baik halal
pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh
Allah, dan halal pada cara mendapatkannya.
Allah menegaskan bahwa Dia Maha Baik dan tidak
menerima kecuali yang baik, termasuk makanan. Dan Allah memerintahkan kepada
orang mukmin sebagaimana Dia memerintahkan kepada para Rasul untuk memakan
makanan yang baik, sebagaimana firman-Nya: "Wahai para rasul, makanlah
yang baik dan lakukanlah perbuatan yang baik. Dan tinggalkanlah sesuatu yang
haram karena dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lembah kemaksiatan.
Penjelasan tentang halal, haram, thayyib dan syubhat
akan dibahas sebagai berikut.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud halal, haram dan thayyib?
2. Apa saja halal dan haram dalam perbuatan?
3. Apa saja halal dan haram dalam makanan?
4. Apa yang dimaksud syubhat beserta contohnya?
5. Bagaimana pengaruh perbuatan dan makanan haram dalam
kehidupan?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa
mampu membedakan perkara yang halal, haram dan
thayyib.
2. Mahasiswa
mampu meneliti makanan, minuman, dan binatang yang diharamkan oleh Islam, baik
dari segi Zat nya, bentuknya, dan sifatnya.
3. Mahasiswa
mampu mengambil suatu kesimpulan hukum, tentang perkara itu, halalkah,
haramkah, atau bahkan syubhat.
4. Mahasiswa mengetahui pengaruh pengaruh perbuatan dan
makanan haram dalam kehidupan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Halal ,
Haram dan Thayyib
a. Halal
Kata
‘halalan’ berasal dari lafadz ‘halla’ yang artinya ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Yusuf
Qardhawi (2000) mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang
boleh dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai
sanksi. Dari Istilah ini dalam
kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk
dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan
dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada
segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara
berpakaian dan lain-lain).
ا أيها الذين ءامنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم
“ Hai orang-orang yang
beriman makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan
kepadamu.” [QS.Al Baqarah : 172].
Halal ada dua,yaitu halal zatnya dan halal cara
memperolehnya. Berikut ini penjelasan tentang keduanya.
1)
Halal zatnya
Halal
zatnya berarti makanan dan minuman tersebut memang berasal dari yang halal.
Seperti daging sapi, Ayam, Sayur dan lainnya
2)
Halal cara memperolehnya
Halal
secara memperolehnya berarti makanan/minuan yang dikonsumsi diperoleh dengan
cara yang sah dan dibenarkan menurut syarak, seperti yang diperoleh melalui
berdagang, bertani, saling memberi sesama, dan lain sebagainya.
Di Indonesia sertifikasi kehalalan
produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia. Majlis
Ulama Indonesia memiliki Lembaga pengawasan
Obat dan Makanan (LPOM). Tugas dari LPOM adalah mengkaji dan mengawasi makanan dan
minuman yang beredar di ndonesia, apakah telah memenuhi syarat atau tidak. Seminggu Umat
Islam akan mendapat ketenangan dalam mengkonsumsi makanan dan
minuman.
b. Haram
Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu
aktivitas atau keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus
hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras.
Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini akan
mendapatkan konsekuensi berupa dosa.
Selanjutnya, masih menurut Qardhawi, Haram dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu haram lid-dzati atau
haram karena zatnya seperti : darah, bangkai, dan babi. Dan haram li-gharihi atau haram karena cara memperoleh dan cara memprosesnya,
seperti: disembelih bukan untuk kepentingan ibadah/ Allah, hewan yang
mati karena tercekik, ditanduk, jatuh, dipukul, diterkam binatang buas.
Menurut Q.S. Al-Maidah ayat 3, proses kematian hewan yang menyebabkan hewan
itu menjadi haram dimakan antara lain karena dicekik, dipukul, ditanduk
binatang lain atau akibat kematian lain yang tidak sesuai dengan hukum.
Terkecuali hewan laut atau yang hidup di air seperti ikan bangkainya tetap
halal dimakan. Rusaknya Kehalalan Salah satu prinsip dalam Islam, apabila Allah
swt. telah mengharamkan sesuatu, maka semua masakan atau produk yang dibuat
dari bahan dasar yang diharamkan akan menjadi makanan yang haram pula.
Islam mempersempit daerah haram.
Kendatipun demikian soal haram pun diperkeras dan tertutup semua jalan yang
mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik dengan terang-terangan mahupun
dengan sembunyi-sembunyi. Justeru itu setiap yang akan membawa kepada haram,
hukumnya haram; dan apa yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya haram juga;
dan setiap kebijakan (siasat) untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah
seterusnya.
Akan tetapi Islam pun tidak lupa
terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi
kepentingannya itu. Oleh karena itu Islam kemudian menghargai kepentingan
manusia yang tiada terelakkan lagi itu, dan menghargai kelemahan-kelemahan yang
ada pada manusia. Justeru itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa,
diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekadar menjaga
diri dari kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan,
sesudah menyebut satu-persatu makanan yang diharamkan, seperti: bangkai, darah
dan babi:
“Barangsiapa dalam
keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melampaui batas, maka tiada
berdosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha
Belas-kasih.” (al-Baqarah: 173). Yang semakna
dengan ini diulang dalam empat surah ketika menyebut masalah makanan-makanan
yang haram. Dan ayat-ayat ini dan nas-nas lainnya, para ahli fiqih menetapkan
suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu:
“Keadaan terpaksa membolehkan yang
terlarang.”
Tetapi ayat-ayat itupun tetap
memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang yang disebut dalam
keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan kata-kata ghaira baghin wala ‘aadin (tidak sengaja dan tidak melampaui
batas). Ini dapat
ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya: tidak sengaja untuk
mencari kelazatan. Dan perkataan tidak melampaui batas itu maksudnya: tidak
melampaui batas ketentuan hukum.
Dari ikatan ini, para ulama
ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu: adh-daruratu tuqaddaru biqadriha (darurat itu dikira-kirakan
menurut ukurannya). Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk
kepada keadaan darurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada
keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan darurat
itu dengan kendali nafsunya. Tetapi
dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha
mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan haram atau
mempermudah darurat.
c. Thayyib
Kata thayyib menurut
al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang
benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang
diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan
beberapa makna, yaitu: zaka wa thahara (suci dan
bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza (enak),
dan halal (halal).
Menurut al-Isfahani,
pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan
jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan Ibnu Taimiyah menerangkan dalam
kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud dengan thayyib adalah
yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak manusia. Menurutnya, lawan
dari kata thayyib ini adalah khabits(bentuk
jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak
fisik, psikis, akal dan akhlak seseorang. Dalam
al-Qur’an, kata thayyib ini disebutkan beberapa kali dalam
bentuk yang berbeda. Terkait dengan makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan
diawali kata halalan dalam
bentuk mufrad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat
kali untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam
Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 88, Surah al-Anfal: 69, dan Surah
an-Nahl: 114.
Sedangkan yang tidak ada kaitannya dengan makanan, al-Qur’an
menyebutkan kata thayyibah dalam bentuk mufrad
muannats (perempuan tunggal) pada sembilan tempat, yaitu pada Surah
Aal Imran: 38, Surah at-Taubah: 72, Surah Yunus: 22, Surah Ibrahim: 24 (dalam
ayat ini disebut dua kali), Surah an-Nahl: 97, Surah an-Nur: 61, Surah Saba:
15, dan Surah ash-Shaff: 12. Dan sebanyak dua kali dalam
bentuk mufrad mudzakkar yaitu pada Surah an-Nisa: 43 dan Surah
al-Maidah: 6. Di samping itu, dalam bentuk jamaknya (thayyibat),
kata ini disebutkan sebanyak sepuluh kali dengan merujuk pada empat pengertian
yaitu; sifat makanan, sifat usaha atau rezeki, sifat perhiasan dan sifat
perempuan. Seperti yang terdapat pada Surah al-Maidah: 4-5, Surah al-A`raf:
157, Surah al-Anfal: 26, Surah Yunus: 93, Surah an-Nahl: 72, Surah al-Isra: 70,
Surah al-Mu’minun: 51, Surah Ghafir: 64 dan Surah al-Jatsiyah: 16.
2.2. Halal Dan Haram dalam Perbuatan
Salah satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila
Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat
membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram, karena itu, saat islam
mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat
membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan
perhiasan, berdua-duaan (free love),
bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak
teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.
Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah, apa saja yang membawa
kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram. Kaidah
ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram
tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi
meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu
dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai
dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah S.A.W. melaknat
kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang
diberinya, yang menjualnya dan seterusnya.
Begitu juga dalam soal
riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan
saksi-saksinya. Begitulah, maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan
haram, hukumnya adalah haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang
yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.
2.1. HALAL DAN HARAM DALAM MAKANAN
a.
Makanan yang halal
Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal
ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam.
segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya
adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang
menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi
mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan
dan sebagainya. Berikut beberapa firman Allah SWT dan hadist Rasulullah SAW mengenai halal dan
haram :
·
“Hai orang-orang yang
beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu
dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu
menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 17)
·
“Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168).
·
“Menyuruh mereka
mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)
·
Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah
SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT
adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan
sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu’min sesuai dengan apa
yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman : Hai para Rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah
Ta’ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang
baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian…”. (HR. Muslim)
·
Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin,
keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk.
Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya
adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan
apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang
dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan
bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :
1) Semua makanan yang baik,
tidak kotor dan tidak menjijikan.
2) Semua makanan yang tidak
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3) Semua makanan yang tidak
memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal,
moral, dan aqidah.
4) Binatang yang hidup di
dalam air, baik air laut maupun air tawar.
b. Makanan yang haram
Haram artinya dilarang,
jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan.
Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan
yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.
Yang termasuk makanan
yang diharamkan adalah :
1)
Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah
surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 145 :
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah : 3)
“Katakanlah: “Tiadalah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am : 145)
Catatan:
semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Semua darah haram kecuali hati dan limpa.
semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Semua darah haram kecuali hati dan limpa.
2) Semua makanan yang keji,
yaitu yang kotor, menjijikan.
“Dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)
3) Semua jenis makanan yang
dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah.
“Katakanlah: “Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi
(akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.”
(QS. Al-A’raf : 33).
4) Bagian yang dipotong
dari binatang yang masih hidup.
Sabda Nabi SAW : “Daging
yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk
bangkai”. (HR. Ahmad)
5) Makanan yang didapat
dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi,
riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.
c. Minuman yang halal
Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian :
1)
Semua jenis aiar atau cairan yang tidak
membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal,
jiwa, maupun aqidah.
2)
Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun
sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.
3)
Air atau cairan itu bukan berupa benda najis
atau benda suci yang terkena najis.
4)
Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan
cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
d. Minuman yang haram
1)
Semua minuman yang memabukkan atau apabila
diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah
seperti arak, khamar, dan sejenisnya.
Allah berfirman : “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah : 219).
Dalam ayat lain Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah :
90).
Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan
sedikit juga tetap haram.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Turmudzi).
2) Minuman dari benda najis
atau benda yang terkena najis.
3) Minuman yang didapatkan
dengan cara-cara yang tidak halan atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.
2.2. Pengertian Syubhat dan
Contohnya
a. Pengertian
Di
dalam KBBI didefinisikan sebagai "keragu-raguan atau kekurang jelasan tentang sesuatu
(apakah halal atau haram dsb); karena kurang jelas status hukumnya; tidak
terang (jelas) antara halal dan haram atau antara benar dan salah. Kata kerja
bersyubhat berarti "menaruh keragu-raguan.
Menurut
syar’i , Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa
diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa
muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat
atau faktanya. Status hukumnya dapat diketahui baik berdasarkan nash ataupun
berdasarkan ijtihad yang dilakukan ulama dengan metode qiyas, istishab, dan
sebagainya.
Syubhat
berbeda dengan perkara yang sudah jelas pengharamannya, atau dengan halal,
makruh, wajib, dan sunat. Syubhat muncul karena ketidaktahuan, bukan dari
pengetahuan. Kondisi tersebut akan terus meragukan dan tidak akan pernah
melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya penjelasan dari
ulama. Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam.
Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang
terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum syariat,
tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun
kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi
berlandaskan keilmuan yang jelas. Seseorang yang masih ragu-ragu terhadap hukum
suatu perkara, dan belum jelas mana yang benar baginya, maka perkara itu
dianggap syubhat baginya, dia harus menjauhi perkara tersebut hingga jelas
baginya status kehalalannya. Sedangkan bagi orang yang tahu (paham/berilmu),
status perkaranya sudah jelas, walau kadang terdapat perbedaan pendapat
dikalangan Ahlul ilmi (ulama), utamanya di antara mazhab-mazhab fiqih.
b. Landasan hukum
Hukum syubhat didasarkan pada hadist Rasulullah Saw,
حدّثناَ قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيْدٍ أَنْبَأَناَ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عن مُجَالِدٍ عن الشَّعْبِي عن النُعْماَنِ
بْنِ بَشِيْرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُولُ
الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَ الْحَراَمُ بَيِّنٌ وَ بَيْنَهُماَ أُمُورٌ مُشْتَبهَاتٌ
لاَ يَدْرِي كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ أَ مِنَ الْحَلاَلِ هِيَ أَم مِنَ الْحَرَامِ
فَمَنْ تَركَهاَ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ فَقدْ سَلِمَ وَ مَن وَقَعَ
شَيئاً مِنهاَ يُوشِكُ اَنْ يُوَاقِعَ الْحَرَامَ كَماَ أَنَّهُ يَرْعَى حَولَ
الْحِمَى يُوشِكُ اَنْ يُواقِعُهُ أَلآ وَ إِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلآ وَ
إِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ (رواه الترمذي)
Qutaibah bin Sa’id
menceritakan kepada kita, Hammad bin Zaid
mengabarkan kepada kita dari Mujalid dari Sya’bi dari Nu’man bin Basyir
berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Halal itu jelas dan haram itu jelas pula, dan diantara keduanya ada perkara-perkara
syubhat (yang samar-samar), banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka
barangsiapa yang meninggal-kannya, maka ia telah membersihkan dirinya untuk
agamanya dan kehormatannya, maka selamatlah dia dan barangsiapa jatuh kepada
hal syubhat, maka ia seakan-akan jatuh kepada yang haram. Umpama seorang yang menggembala dekat daerah
yang terlarang, seakan ia nyaris jatuh (memasuki) daerah itu. Ketahuilah bahwa
setiap negara ada tapal batasnya, dan tapal batas Allah adalah yang
diharamkannya.” (HR. at-Turmudzi).
Terhadap persoalan
syubhat, Islam memberikan suatu garis yang disebut wara’ (sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana
dengan sifat ini seorang muslim diharuskan menjauhkan diri dari masalah yang
masih syubhat sehingga ia tidak akan terseret kepada perbuatan yang haram. Pengertian wara’ menurut Imam Muhammad bin Ismail
adalah: Wara’ adalah menjauhkan
diri dari hal-hal yang belum jelas halal dan haramnya karena takut terjatuh
pada perkara yang haram.
Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi Rasulullah Saw memerintahkan kepada umatnya
agar menjauhi dan meninggalkan perkara syubhat:
حدّثناَ أبُو مُوسَى
الأنْصَارِي أَخْبَرناَ عبدُ اللهِ بنُ أدْرِيْسَ أَخْبَرناَ شُعْبَةَ عن بُرَيْدَ
بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عن أبِي الْحَورَاءَ السَّعدِي قال قُلْتُ للحَسَنِ بن عَلِيّ
ماَ حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم دَعْ ماَ يُرِيْبُكَ إِلَى ماَ لاَ يُرِيْبُكَ فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَ إِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ (رواه الترمذي)
Abu Musa al-Anshari
merceritakan kepada kita, Abdullah bin Idris mengabarkan kepada kita, Syu’bah
mengabarkan kepada kita dari Buraid bin Abi Maryam dari Abi al-Haura as-Sa’diy
berkata: saya berkata kepada Hasan bib Ali: Apa yang engkau hafal dari
Rasulullah? Hasan berkata (menjawab): yang saya hafal dari Rasulullah Saw: “Tinggalkan
perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena
kejujuran itu adalah ketenangan hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.” (HR. at-Turmudzi)[8]
Dalil di atas
merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai
jenis keharaman. Dalam hadist ini Rasulullah memerintahkan kepada umatnya untuk
meninggalkan perkara yang meragukan dan memerintahkan kepada umatnya untuk
mengambil perkara yang meyakinkan. Maka apabila seorang muslim mewujudkan apa
yang dituntunkan Rasulullah dalam hadist di atas, maka ia telah menjaga
kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam
keharaman. Sebagaimana sabdanya: “Siapa
menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga
agamanya dan kehormatannya”. Dan perbuatan ini akan mengantarkannya kepada
sikap wara’.
Maka sesuatu yang
masih diragukan kehalalan atau keharamannya harus dibuktikan kebenaran akan
halal atau haramnyasehingga seseorang menjadi jelas dan yakin untuk
melakukannya apabila termasuk barang halal dan meninggalkan apabila itu telah
jelas keharamannya. Sesuai dengan kaidah fiqih: لْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِتلشَّكِّ Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan.
Menurut
Ahmad Batahi al-Khatabi, hukum meninggalkan syubhat ada tiga, yaitu: wajib,
sunah dan makruh. Jika yang syubhat itu diyakini membawa pada yang haram, maka
meninggalkannya adalah wajib. Jika yang syubhat itu lebih berat kepada yang
haram, maka meninggalkannya adalah sunah. Jika lebih berat kepada yang halal,
maka meninggalkannya adalah makruh.
c. Sumber-sumber perkara syubhat
Keraguan (syak) itu
adalah suatu ungkapan untuk dua keyakinan yang saling bertentangan yang
bersumber dari dua sebab. Oleh karena itu, mana yang tidah mempunyai sebab atau
bukti tidak dapat menjadi ketetapan yang mengimbangi keyakinan yang berlawanan
sehingga kemudian menjadi syak (ragu). Batasan syubhat
(haddusy-syubhat) menurut Ibnu Qudamah adalah:
Batasan syubhat adalah sesuatu yang
dipertentangkan dua keyakinan, berasal dari dua hal yang memang selaras dengan
keyakinan itu.
Perkara syubhat dapat
ditetapkan melalui beberapa sumber. Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya
’Ulumuddin, menjelaskan sumber syubhat itu antara lain:
1) Keraguan dalam sebab
yang menghalalkan dan yang mengharamkan
Keraguan tersebut
tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu setara atau kecenderungan pada salah
satu dari dua kemungkinan. Jika kedua kemungkinan itu setara/sama, maka
hukumnya adalah berdasarkan yang dikenal sebelumnya. Jika salah satu dari dua
kemungkinan itu lebih kuat maka hukumnya adalah bagi yang lebih kuat. Contoh: Dilemparkan
anak panah pada buruan. Buruan itu terluka lalu terjatuh ke air dan ditemukan
telah menjadi bangkai. Tidak ada yang tahu apakah buruan itu mati karena
tenggelam atau karena lukanya. Maka buruan ini adalah haram karena asalnya yang
haram.
2) Keraguan yang
ditimbulkan oleh percampuran (شك منشوؤه الإختلاط)
Yaitu bercampurnya
yang haram dan yang halal sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara keduanya
sehingga muncul keraguan apakah sesuatu itu halal atau haram. Contoh:
Dagingbangkai seekor kambing bercampur dengan daging beberapa ekor kambing yang
disembelih secara halal. Maka keraguan dalam hal ini harus dijauhi karena tidak
ada tanda pada daging dari bangkai yang bercampur. Apabila ada keraguan yang
beralasan bahwa daging bangkai kambing itu telah bercampur maka hal tersebut
haram.
3)
Keraguan karena adanya hubungan kemaksiatan
dengan sebab yang menghalalkan (ان يتصل بالسبب المحلل معصية)
Hubungan itu dapat
terlihat pada sesuatu itu sendiri, pada tujuannya, pada permulaannya atau pada
persoalan jual beli. Namun, maksiat ini bukan sejenis maksiat yang merusak aqad
(ikatan perjanjian) atau membatalkan sebab yang menghalalkan sesuatu. Contoh:
menyembelih dengan pisau rampokan, menjual buah anggur kepada seorang pembuat
khamer.
4) Keraguan karena
perbedaan dalam berbagai dalil (اختلاف في الأدلة)
Perbedaan di dalam
berbagai dalilnya ini seperti perbedaan di dalam sebab-sebabnya. Karena sebab
menentukan hukum halal dan haram sedangkan dalil untuk mengetahui hukum halal
dan haram. Lebih jelas lagi bahwa dalil merupakan sebab untuk bisa sampai pada
pengertian yang nyata pada suatu barang.
Misalnya sabda Nabi
Saw: “Orang mukmin menyembelih atas nama
Allah Ta’ala, baik ia menyebut nama Allah atau tidak”. Hadist ini
bertentangan dengan sebuah ayat al-Quran yang jelas dan beberapa hadist yang
mengatakan bahwa mengucapkan nama Allah pada saat menyembelih adalah wajib.
Dengan demikian hadist terdahulu harus ditinggalkan. Wallahu ’alam
bissawab.
2.5. Pengaruh Perbuatan dan Makanan Haram dalam
Kehidupan
Mengharamkan
yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya, di antara hak Allah sebagai Zat yang menciptakan
manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan
halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan
perintah-perintah dan syi’ar-syi’ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat
manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
Namun,
Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh kerana itu dalam Ia menentukan
halal dan haram dengan alasan yang ma’qul (rasional) demi kemaslahatan manusia
itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali
yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.
Tidaklah kamu mengetahui, bahawa Allah telah mengharamkan daging babi,
tetapi tidak seorang Islam pun yang memahami sebab diharamkannya daging babi
itu, selain kerana kotor. Tetapi
kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahawa di
dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.
Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam
daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai
sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahawa diharamkannya daging babi itu
justeru kerana najis (rijsun).
Begitulah,
setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang
sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram
serta rahasia setiap hukum.
a. Manfaat Makanan dan
Minuman Halal
Keberadaan manusia di
dunia ini dikehendaki oleh Allah SWT sebagai penciptanya. Allah SWT telah
memberlakukan aturan aturan bagi Makhluk-Nya, termasuk manusia. Salah satu
aturan-Nya ialah manusia dapat bertahan hidup karena makan, minum dan bernafas.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa manfaat dihalalkannya makanan/minuman
antara lain seperti berikut:
1)
Manusia dapat bertahan
hidup di dunia sampai batas yang ditentukan Allah SWT.
2)
Manusia dapat mencapai
ridho Allah SWT dalam hidup.
3)
Manusia dapat memiliki
akhlaq karimah karena makanan dan minuman halal mempengaruhi watak dan perangai
manusia.
4)
Manusia dapat
terhindar dari akhlaq mazmumah
b.
Akibat
Buruk dari
Perbuatan,
Makanan
dan Minuman yang Haram
Apabila
manusia melakukan perbuatan hram, memakan
makanan dan meminum minuman yang haram maka akan menimbulkan akibat buruk baik
manusia itu sendiri baik terhadap pribadinya maupun terhadap orang
lain atau masyarakat bahwa terhadap lingkungannya. Diantara akibat buruk dari perbuatan, makanan dan miuman yang
haram adalah:
1) Amal
ibadahya tidak akan diterima dan doanya tidak akan dikabulkan Allah Swt.
Rasulullah Saw
bersabda yang artinya:
Dari
Abu Hurairah R.a. ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Saw
adalah Dzat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mukmin sesuai dengan yang
diperintahkan kepada para Rasul”. AllahTa’ala berfirman: “Hai Para Rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih, Allah
Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang
baik-baik yang kami berikan kepada kamu sekalian…”(HR. Muslim)
2) Makanan
dan minuman haram bisa merusak jiwa (terutama minuman keras yang mengandung alkohol),
seperti:
·
Kecerdasan menurun
·
Cenderung lupa dan
melakukan hal-hal yang negatifSenang menyendiri dan melamun
·
Semangat kerja
berkurangn
3) Makan
dan minuman yang haram dapat membahayakan kesehatan
4) Makanan
dan minuman yang haram memubajirkan harta
5) Menimbulkan
permusuhan dan kebencian
6) Menghalangi
mengingat Allah
7) Menimbulkan
kerakusan dan ketamakan
8)
Mendapat azab dari Allah SWT
Allah
berfirman yang Artinya: “Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu(dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah[5] : 91).
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan,
syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi. Haram adalah segala
sesuatu yang tidak boleh dikerjakan, tidak dibenarkan syariat, dan dilarang secara keras.
Orang yang melakukan tindakan haram atau makan sesuatu yang haram ini akan
mendapatkan konsekuensi berupa dosa.
Sedangkan kata thayyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang
benar-benar baik.
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan
yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh
syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada
faidahnya dan mendapat pahala. Salah
satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah
mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada
perbuatan haram, hukumnya adalah haram, karena itu, saat islam mengharamkan
zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada
perbuatan itu, adalah diharamkan juga
Apabila manusia melakukan
perbuatan haram, memakan makanan dan meminum minuman yang haram maka akan
menimbulkan akibat buruk baik manusia itu sendiri baik terhadap pribadinya maupun
terhadap orang lain atau masyarakat bahwa terhadap lingkungannya.
Mengharamkan
yang halal akan berakibat timbulnya kejahatan dan bahaya, di antara hak Allah
sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung
banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana
Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi’ar-syi’ar ibadah dengan
sesukanya. Sedang buat
manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
DAFTAR PUSTAKA
An nawawi bin syarafudin, hadits
arba’in.1997 :
darul fikr, Riyadh.
Al-‘Utsaimin, Syaih Muhammad bin Shahih. 2010. Syarah Hadits Arba’in. Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir.
Berita Islami. 2015.”Halal
dan Haram dalam Islam”. http://berita-islami-masa-kini. blogspot.co.id/2014/06/halal-dan-haram-dalam-islam.html. Diakses pada tanggal 23 November 2016.
Qaradhawi,
Yusuf. 2000. Halal dan Haram.
Surabaya: Robbani Press
Zulfikar.2014. “Pengertian Halal dan
Haram. http://firdauzzuel.blogspot.co.id/ 2012/05/ pengertian-halal-dan-haram.html. Diakses pada tanggal 24 November 2016.